Pemanasan global berdampak negatif nyata bagi kehidupan ratusan juta warga di dunia.
Demikian laporan para pakar yang tergabung dalam Intergovernmental Panel on Climate Change. Salah satu dampaknya, suhu permukaan bumi sepanjang lima tahun mendatang meningkat plus dampak lanjutan, antara lain kegagalan panen, kelangkaan air, tenggelamnya daerah pesisir, banjir, dan kekeringan (Kompas, 12/4/2007).
Beberapa waktu lalu digelar diskusi terbatas, difasilitasi instansi pemerintah terkait tentang Daya Dukung pulau-pulau di Indonesia, khususnya Pulau Jawa. Serial diskusi ini diharapkan menghasilkan Intellectual agreement guna meramu rekomendasi kebijakan pengembangan dan pengendalian kewilayahan.
Kajian dilakukan melalui tiga pendekatan, terkait daerah tangkapan sungai (watershed), ecological carrying capacity, dan Green GDP. Sebuah langkah strategis dan mendesak. Tidak hanya karena Indonesia sepakat melestarikan lingkungan seperti termaktub dalam Tujuan Pembangunan Millenium (MDGs), tetapi juga saat dihadapkan kenyataan terjadinya bencana beruntun.
Sepuluh tahun lalu, studi South Pacific Region Environment Programme meramal, pada pertengahan abad ke-21, sebagian besar daerah pertanian, tambak udang di pantai utara Jawa, dan beberapa pulau kecil di Indonesia bakal terendam air akibat muka laut naik 45 cm. Penyebabnya, suhu global naik 2,5 derajat Celcius akibat peningkatan emisi CO2 200 persen.
Industrialisasi
Tampaknya, dua abad industrialisasi telah merusak keseimbangan kimiawi dan fisika atmosfer bumi. Miliaran ton CO2 dari pembakaran batubara, migas, kayu, dan berjuta tonn gas methan akibat eksplorasi gas bumi atau yang mengudara di atas tanah persawahan di Asia telah mengubah lapisan udara menjadi "perangkap panas". Sebuah perangkap raksasa yang berfungsi seperti "rumah kaca", menyekap panas sinar matahari dengan akibat peningkatan suhu bumi.
Efek rumah kaca ini kian bertambah akibat penggunaan gas CFC di seluruh dunia. Gas yang melubangi lubang ozon sebagai perisai bumi atas sinar ultra violet, menyebabkan perubahan zona cuaca. Saat sebagian Afrika mengalami kekeringan, naiknya permukaan laut telah "menelan" kawasan subur yang menjadi sumber kehidupan jutaan penduduk seperti dataran rendah Po di Italia, Delta Gangga di Banglades, Mekong di Vietnam dan Kamboja, Huang He di China, serta pantura Jawa. Pada saat yang sama, tiap tahun, bumi kehilangan 25 miliar hektar lahan subur akibat kerusakan lingkungan.
Satu hal pasti, waktu yang tersisa untuk mengurangi efek rumah kaca secara drastis tidak banyak. Bahkan, menurut pakar biologi Thomas Lovejoy dari Ocean Institute di Washington, "pertarungan menentukan menang kalahnya kita melawan laju pencamaran lingkungan, seharusnya terjadi pada dekade lalu. Bukan pada abad ke-21 ini".
Demikian laporan para pakar yang tergabung dalam Intergovernmental Panel on Climate Change. Salah satu dampaknya, suhu permukaan bumi sepanjang lima tahun mendatang meningkat plus dampak lanjutan, antara lain kegagalan panen, kelangkaan air, tenggelamnya daerah pesisir, banjir, dan kekeringan (Kompas, 12/4/2007).
Beberapa waktu lalu digelar diskusi terbatas, difasilitasi instansi pemerintah terkait tentang Daya Dukung pulau-pulau di Indonesia, khususnya Pulau Jawa. Serial diskusi ini diharapkan menghasilkan Intellectual agreement guna meramu rekomendasi kebijakan pengembangan dan pengendalian kewilayahan.
Kajian dilakukan melalui tiga pendekatan, terkait daerah tangkapan sungai (watershed), ecological carrying capacity, dan Green GDP. Sebuah langkah strategis dan mendesak. Tidak hanya karena Indonesia sepakat melestarikan lingkungan seperti termaktub dalam Tujuan Pembangunan Millenium (MDGs), tetapi juga saat dihadapkan kenyataan terjadinya bencana beruntun.
Sepuluh tahun lalu, studi South Pacific Region Environment Programme meramal, pada pertengahan abad ke-21, sebagian besar daerah pertanian, tambak udang di pantai utara Jawa, dan beberapa pulau kecil di Indonesia bakal terendam air akibat muka laut naik 45 cm. Penyebabnya, suhu global naik 2,5 derajat Celcius akibat peningkatan emisi CO2 200 persen.
Industrialisasi
Tampaknya, dua abad industrialisasi telah merusak keseimbangan kimiawi dan fisika atmosfer bumi. Miliaran ton CO2 dari pembakaran batubara, migas, kayu, dan berjuta tonn gas methan akibat eksplorasi gas bumi atau yang mengudara di atas tanah persawahan di Asia telah mengubah lapisan udara menjadi "perangkap panas". Sebuah perangkap raksasa yang berfungsi seperti "rumah kaca", menyekap panas sinar matahari dengan akibat peningkatan suhu bumi.
Efek rumah kaca ini kian bertambah akibat penggunaan gas CFC di seluruh dunia. Gas yang melubangi lubang ozon sebagai perisai bumi atas sinar ultra violet, menyebabkan perubahan zona cuaca. Saat sebagian Afrika mengalami kekeringan, naiknya permukaan laut telah "menelan" kawasan subur yang menjadi sumber kehidupan jutaan penduduk seperti dataran rendah Po di Italia, Delta Gangga di Banglades, Mekong di Vietnam dan Kamboja, Huang He di China, serta pantura Jawa. Pada saat yang sama, tiap tahun, bumi kehilangan 25 miliar hektar lahan subur akibat kerusakan lingkungan.
Satu hal pasti, waktu yang tersisa untuk mengurangi efek rumah kaca secara drastis tidak banyak. Bahkan, menurut pakar biologi Thomas Lovejoy dari Ocean Institute di Washington, "pertarungan menentukan menang kalahnya kita melawan laju pencamaran lingkungan, seharusnya terjadi pada dekade lalu. Bukan pada abad ke-21 ini".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar